TRIBUNTANGERANG.COM, JAKARTA -- Jakarta masih menyisakan bangunan tua bersejarah.
Salah satunya ada di kawasan Glodok, Jakarta Barat.
Nama Glodok hingga kini identik dengan daerah bernuansa Tionghoa. Baik warga, tradisi, serta bangunan yang tersisa.
Salah satu bangunan kuno bernuansa Tionghoa ini letaknya persis di pertigaan antara Jalan Pancoran dan Jalan Hayam Wuruk.
Nama bangunan itu ialah Pantjoran Tea House. Ternyata sejarah Pantjoran Tea House erat kaitannya dengan sejarah Glodok.
Saat ini, gedung Pantjoran Tea House digunakan sebagai kafe teh.
Pada sejarah Glodok, minuman Teh ternyata pernah menjadi minuman penyelamat nyawa warga Tionghoa di Glodok.
Dikutip dari situs Pantjoran Tea House pada tahun 1629, dalam serangan kedua pasukan Mataram ke Batavia menyebabkan Sungai Ciliwung sebagai satu-satunya sumber air bersih tercemar.
Banyak warga Batavia yang meninggal akibat wabah disentri dan kolera.
Tetapi, jumlah korban dari warga Tionghoa justru sedikit.
Diusut ternyata tradisi warga Tionghoa menyeduh teh dengan air panas telah menyelamatkan nyawa mereka.
Sementara gedung Pantjoran Tea House sendiri saat ini menjadi landmark di kawasan Glodok atau Pecinan.
Bangunan itu adalah sebuah toko obat tertua kedua di Jakarta (d/h Batavia) yang didirikan sekitar tahun 1928.
Awalnya bangunan itu dikenal sebagai Apotheek Chung Hwa.
Namun untuk mendukung upaya pemerintah menjadikan kawasan Kota Tua Jakarta sebagai situs warisan budaya dunia oleh UNESCO, bangunan ini direvitalisasi pada tahun 2015 oleh arsitek Ahmad Djuhara.
Usai direvitalisasi bangunan beralih fungsi menjadi kedai teh dengan nama Pantjoran Tea House. Sebabnya budaya minum teh di kawasan Pecinan sangat kuat pada saat itu.
Salah satu yang unik, tea house ini tak hanya menyajikan tradisi minum teh dengan gaya tradisional saja.
Dikutip dari Tribun Jakarta, hingga kini kafe Pantjoran Tea House juga masih melestarikan budaya Tionghoa di masa lalu.
Misalnya saja saat melihat di bagian depan kafe, kamu akan menemui delapan buah teko berwarna hijau dijajarkan lengkap dengan gelasnya di atas meja.
Teko-teko tersebut biasanya diisi dengan seduhan teh hijau yang diperuntukan bagi siapa saja yang melintas.
Disebutnya tradisi Patekoan, yakni menyajikan teh gratis untuk masyarakat. Tradisi tersebut sudah dipegang orang Tionghoa Glodok sejak tahun 1600an.
Tradisi ini diperkenalkan oleh sosok murah hati di Glodok bernama Kapitan Cina bernama Gan Djie dan istrinya.
Setiap harinya, pasangan ini menyediakan delapan teko teh di depan kantor Kapitan yang kerap menjadi tempat singgah para pedagang keliling yang kelelahan.
Air teh itu bisa diminum tanpa dipungut biaya.
Lama kelamaan, penyediaan teh dalam delapan teko teh itu menjadi petunjuk utama bagi warga yang mencari kantor Kapitan di kawasan Pecinan.
Kawasan ini pun kemudian dikenal sebagai Patekoan, yang dalam bahasa Tiongkok Pa berarti delapan dan Te-Koan berarti teko teh.
Angka delapan secara filosofis dianggap sebagai angka keberuntungan karena bentuknya yang tak pernah putus.
Harapannya, teh dari patekoan ini akan membawa keberuntungan baik bagi yang menyajikan maupun yang meminum.
Namun sayangnya tradisi tersebut sempat terhenti karena wabah pandemi Covid-19.
Meski begitu, kamu masih bisa loh nongkrong di Kedai Pantjoran Tea House sambil menikmati arsitektur kuno Tiongkok di Glodok.
Harga teh di Pantjoran Tea House mulai dari Rp30 ribu hingga Rp70 ribu saja loh.
1